@edgarhamas
Saya suka dengan pepatah ini, "In the beginning there is meaning, in the end there is feeling." Di permulaan ada pemaknaan, dan di akhir biasanya ada rasa.
Orang memulai harinya dengan membuat pengalaman, lalu senja harinya ia pulang membawa pengalaman, dan malamnya ia merenungi kenangan dari sebuah pengalaman. Dan, itulah yang membuat hidup jadi dinamis. Kita, memaknainya, setiap pergantiannya. Ada zikir pagi, ada pula wirid sorenya.
Bagi kita yang hidup di zaman ini, rasa-rasanya kita yang terbiasa menggunakan kalender Masehi jadi perlu membuat pemberhentian sejenak. Bukan, bukan kita merayakan akhir tahun gregorian. Kita sudah punya kalender sendiri. Namun terbiasanya kita menggunakan tahun-tahun gregorian ini akhirnya membuat kita jadi butuh juga memuhasabahi: akhir tahun 2024 aku sudah jalan sejauh apa, dan bagaimana aku memulai hari-hari setelahnya?
Alih-alih fokus membeli bahan bakar-bakaran, makin dewasa ini, saatnya diam sejenak bersama Allah dan diri kita sendiri. Hadiri kajian jika ada, mabit jika memang ada agendanya. Kalau saya sendiri, saya biasanya diam saja sambil merenung.
Saya selalu menanyakan dua hal: tentang apa yang telah saya lakukan, dan apa yang kelak akan saya azamkan. Saya akan lihat 100 target 5 tahunan, dan mulai memindai mana yang masih relevan, mana yang telah terjadi, dan mana yang masih mimpi.
Dan, pesan-pesan ini membantu saya —dan semoga kamu— untuk kembali menyegarkan sudut pandang menjalani hari-hari ke depan.
Izinkan diri kita untuk menjadi pemula pada hal yang baru. Pada potensi yang kita baru asah, pada pekerjaan yang baru kita jalani. Sebab banyak orang menuntut dirinya harus langsung ahli, dan itu mustahil. Banyak guru bilang pada saya bahwa setiap hal butuh "Husnul Bidayah", awal yang baik.
Dan salah satu makna awal yang baik itu adalah: berikan hak pada dirimu untuk berproses.
Hendaknya kita memahami bahwa tahun-tahun yang berjalan, tak selalunya berakhir memuaskan. Kadang ada masa dimana kita menang. Tapi, jangan overthinking kalau memang tahun ini kita "rasanya" tak menghasilkan banyak hal berarti. Kamu salah jika berpikir begitu.
Sebab pada akhirnya kita bertumbuh: kadang berakhir dengan momentum, kadang berubah menjadi pelajaran berharga. Baca surat Ali Imran 140, dan kita akan memahami siklus ini.
Seseorang pernah datang pada Imam Ibnu Mubarak, lalu dia meminta nasihat. Dan, jawaban Ibnu Mubarak singkat padat jelas namun sangat dalam, "i'rif qadraka", ketahuilah kapasitasmu. Dalam jalan panjang hidup ini, kita sering mengenal orang, tapi kenapa kita jarang duduk mengenal diri kita sendiri?
Mengetahui kapasitas kita, itu artinya memetakan apa yang bisa persembahan buat Islam dan umat ini.
Sebab generasi pembebas Al Aqsha bukanlah hanya dari orang-orang militer, tapi oleh siapapun yang memenangkan potensinya di bidangnya masing-masing. Dan itu hanya bisa benar-benar terjadi jika setiap orang mengetahui kapasitasnya, sehingga ia mampu menentukan posisinya.
"Apapun yang dilakukan karena Allah, maka akan bertahan", itulah yang dikatakan Imam Malik bin Anas ketika menulis Kitab hadits Al Muwattha. Saat itu, buku-buku hadits sudah banyak. Namun Imam Malik tetap menulis dan bahkan karyanya bertahan sampai kini. Apa rahasianya?
Ya, beliau melakukannya tulus karena Allah, maka Allah menjadikan karya itu "abadi" menginspirasi umat melintasi ruang dan zaman.
Mirip-mirip dengan quote Maximus, "What we do in life echoes in eternity"
Dan ini yang pamungkas. Saya terkesan dengan salah satu quote demonstran pro Palestina di Amerika, "bukan dunia yang telah membantu Gaza, tapi Gaza lah yang membangunkan dunia." Clear. Jernih.
Permasalahan Al Aqsha dan Palestina adalah milik pendekar hati nurani. Selama kita masih bertaut dengan Al Aqsha, maka kita akan sadar: beban kita belum ada apa-apanya, dan visi kita bertaut dengan mereka; yang terabadikan dalam lisan seorang ibu di pengungsian Gaza, "Al Aqsha, jika tidak dibebaskan oleh aku, maka oleh anak-anakku. Jika bukan oleh anak-anakku, maka oleh cucuku!"
Adorable Baby Animal Fashion Show ❤️😍
Kupikir di level kesadaran yang lebih tinggi, itu sudah tidak ada yang namanya 'habluminannas', atau 'hablumina-elemen' (aku gak tau 'elemen' bahasa Arabnya apa), adanya hanya 'habluminallah'.
Ketika kita menyakiti manusia, artinya kita menyakiti hamba Allah.
Kita menyakiti hewan, kita menyakiti ciptaan Allah.
Kita berbuat baik pada manusia, karena itu adalah perintah Allah.
Ketika manusia menyakiti kita, artinya Allah sedang mendidik kita melalui dia.
Tidak ada sesuatu pun di dunia ini kecuali aku (sebagai hamba) dan Allah (sebagai tuhan).
Kupikir itu makna "Laa ilaaha ilallah".
Tidak ada apa pun di dunia ini kecuali Allah. Bahkan jasadku sendiri pun milik Allah. (artinya, jika aku berbuat jahat pada jasadku: males mandi, males olahraga, makan sembarangan, maka sama saja aku sudah dzalim pada ciptaan Allah)
Dan kupikir, itu juga yang menyebabkan kenapa Iblis tidak mau sujud kepada Adam. Karena Iblis masih memegang prinsip 'hablumina-elemen'.
Dia api sementara Adam tanah, untuk apa dia sujud kepada tanah?
Iblis hanya fokus pada elemennya, dia sama sekali tidak melihat siapa yang memerintah dia. Iblis tidak benar-benar memahami hakikat "laa ilaha ilallah".
Dulu aku selalu bertanya-tanya, kenapa orang-orang yang menyakitiku hidupnya tenang-tenang aja? Sementara aku kalau punya salah justru malah suka kepikiran?
Tapi jawabannya ada 2 kemungkinan:
Dia sudah minta ampun atas kesalahannya pada Allah, dan Allah sudah mengampuni dia, dan menurunkan ketenangan pada hatinya.
Allah sengaja menyesatkan dia, sehingga dia tidak merasa punya salah dan memandang indah perbuatannya.
Untuk yang pertama, berarti aku yang dzalim karena terus menerus meminta validasi bahwa aku telah disakiti oleh orang yang sudah Allah ampuni.
Sementara untuk yang kedua, itu udah gak bisa ditolong. Gimana kita mau menyadarkan orang yang memang sudah disesatkan Allah? Sedang dia sendiri selalu memandang indah perbuatannya?
Maka, benar sih, kita sama sekali gak punya kendali atas manusia lain. Habluminannas itu hanya ilusi. Justru yang nyata ada hanya Habluminallah.
Kalau di filsafat, ada yang namanya 'Stoicisme', yang intinya kita hanya harus fokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan. Tapi menurutku, falsafah "Laa ilaaha ilallah" itu jauh lebih baik dari stoicisme. Hanya kebanyakan orang belum tahu aja maknanya.
Habluminannas adalah ide yang buruk.
Mereka membesar-besarkan dosa pada manusia, dan mengecilkan dosa pada Allah.
Padahal dosa kepada manusia adalah dosa kepada Allah juga. Dan cukuplah Allah kelak menjadi hakim yang paling adil di antara orang-orang yang bersengketa.
Jika seseorang berdosa terhadap seorang yang lain, maka Allah yang akan mengadili; tetapi jika seseorang berdosa terhadap Tuhan, siapakah yang menjadi perantara baginya?” Tetapi tidaklah didengarkan mereka perkataan ayahnya itu, sebab Tuhan hendak mematikan mereka. (Taurat, Kitab 1 Nabi Samuel 2:25)
Benar kata Imam Eli dalam Taurat, "Jika seseorang berdosa terhadap Tuhan, siapa yang akan jadi perantara baginya?"
Tidak ada.
Bahkan syafaat para nabi dan para malaikat pun tidak akan berguna jika Tuhan tidak mengizinkannya.
Mau tak mau, kita harus datang sendiri pada Tuhan.
Tapi bagaimana kita akan datang pada-Nya jika Dia tidak ingin melihat kita? Bagaimana kita akan datang pada-Nya, jika Dia telah mematikan hati kita?
Bagaimana kita akan datang pada-Nya, sedang kita memandang baik semua perbuatan kita? Merasa diri kita suci dari dosa? Dan malah balik menuduh orang lain yang berdosa pada kita?
Bagaimana kita bisa "merasa" punya salah, jika Allah sudah berkehendak untuk "mengunci mati" hati kita?
Benarlah kabar dalam surat Al-Kahfi,
Katakanlah, “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”
Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (Q.S. 18: 103-104)
Hidup ini ribet jika 'habluminallah' kita kurang baik.
Hidup ini akan ruwet jika kita masih memegang prinsip 'habluminannas', sebagaimana ruwetnya iblis yang masih memegang prinsip 'hablumina-elemen', hingga membuatnya terusir dari Surga yang penuh kedamaian.
Karena, ketika seseorang memisahkan antara "habluminallah" dan "habluminannas", sejatinya mereka sedang mengajarkan kita untuk mempersekutukan Allah dengan manusia. Sebagaimana iblis yang mempersekutukan Allah dengan unsur elemen penciptaan dirinya. Itu sebabnya dia terusir dari rahmat Allah.
Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain). (Q.S Yusuf: 106)
Pengen jadi orang yang suksesnya ga dimanfaatin gagalnya ga diketawain. Aibnya ga dicari-cari. Amalnya ga dipuji-puji. Enak dan Ga malu makan dipinggir jalan, pakai baju, kendaraan untuk dimanfaatin fungsinya bukan untuk dipamerin bagus /mereknya. Kalo post cari rejeki, bagi inspirasi bukan pamer kehidupan pribadi.
Ga keras lagi pada diri sendiri, ga berambisi pada mimpi, ga ada rasa ingin membuktikan ke orang lain yang meremehkan, ga pengen menunjukkan bahwa aku ada dan layak diperhatikan.
O Allah, help me to remember You, to give You thanks and to perform Your worship in the best manner.
☺️🤗