Parameter baiknya ibadah seseorang itu bukan dari bagus ngajinya, bukan dari banyak sholatnya. Tapi dari bagaimana shalat, dan ngajinya tadi merubah akhlaknya. Jadi kalau ada yang rajin ibadah tapi akhlaknya masih jelek, ibadahnya harus dipertanyakan.
"Ya Allah, grant me a heart that is not lazy to pray, worship and read the Quran. Don't leave me to myself. Don't leave me to my own desires, grant me faith in my last breath, grant me the grace to leave this world in a beautiful and faithful manner."
Floating through the water, with flowing moss beneath and a majestic waterfall in the background 😌
Kupikir di level kesadaran yang lebih tinggi, itu sudah tidak ada yang namanya 'habluminannas', atau 'hablumina-elemen' (aku gak tau 'elemen' bahasa Arabnya apa), adanya hanya 'habluminallah'.
Ketika kita menyakiti manusia, artinya kita menyakiti hamba Allah.
Kita menyakiti hewan, kita menyakiti ciptaan Allah.
Kita berbuat baik pada manusia, karena itu adalah perintah Allah.
Ketika manusia menyakiti kita, artinya Allah sedang mendidik kita melalui dia.
Tidak ada sesuatu pun di dunia ini kecuali aku (sebagai hamba) dan Allah (sebagai tuhan).
Kupikir itu makna "Laa ilaaha ilallah".
Tidak ada apa pun di dunia ini kecuali Allah. Bahkan jasadku sendiri pun milik Allah. (artinya, jika aku berbuat jahat pada jasadku: males mandi, males olahraga, makan sembarangan, maka sama saja aku sudah dzalim pada ciptaan Allah)
Dan kupikir, itu juga yang menyebabkan kenapa Iblis tidak mau sujud kepada Adam. Karena Iblis masih memegang prinsip 'hablumina-elemen'.
Dia api sementara Adam tanah, untuk apa dia sujud kepada tanah?
Iblis hanya fokus pada elemennya, dia sama sekali tidak melihat siapa yang memerintah dia. Iblis tidak benar-benar memahami hakikat "laa ilaha ilallah".
Dulu aku selalu bertanya-tanya, kenapa orang-orang yang menyakitiku hidupnya tenang-tenang aja? Sementara aku kalau punya salah justru malah suka kepikiran?
Tapi jawabannya ada 2 kemungkinan:
Dia sudah minta ampun atas kesalahannya pada Allah, dan Allah sudah mengampuni dia, dan menurunkan ketenangan pada hatinya.
Allah sengaja menyesatkan dia, sehingga dia tidak merasa punya salah dan memandang indah perbuatannya.
Untuk yang pertama, berarti aku yang dzalim karena terus menerus meminta validasi bahwa aku telah disakiti oleh orang yang sudah Allah ampuni.
Sementara untuk yang kedua, itu udah gak bisa ditolong. Gimana kita mau menyadarkan orang yang memang sudah disesatkan Allah? Sedang dia sendiri selalu memandang indah perbuatannya?
Maka, benar sih, kita sama sekali gak punya kendali atas manusia lain. Habluminannas itu hanya ilusi. Justru yang nyata ada hanya Habluminallah.
Kalau di filsafat, ada yang namanya 'Stoicisme', yang intinya kita hanya harus fokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan. Tapi menurutku, falsafah "Laa ilaaha ilallah" itu jauh lebih baik dari stoicisme. Hanya kebanyakan orang belum tahu aja maknanya.
Habluminannas adalah ide yang buruk.
Mereka membesar-besarkan dosa pada manusia, dan mengecilkan dosa pada Allah.
Padahal dosa kepada manusia adalah dosa kepada Allah juga. Dan cukuplah Allah kelak menjadi hakim yang paling adil di antara orang-orang yang bersengketa.
Jika seseorang berdosa terhadap seorang yang lain, maka Allah yang akan mengadili; tetapi jika seseorang berdosa terhadap Tuhan, siapakah yang menjadi perantara baginya?” Tetapi tidaklah didengarkan mereka perkataan ayahnya itu, sebab Tuhan hendak mematikan mereka. (Taurat, Kitab 1 Nabi Samuel 2:25)
Benar kata Imam Eli dalam Taurat, "Jika seseorang berdosa terhadap Tuhan, siapa yang akan jadi perantara baginya?"
Tidak ada.
Bahkan syafaat para nabi dan para malaikat pun tidak akan berguna jika Tuhan tidak mengizinkannya.
Mau tak mau, kita harus datang sendiri pada Tuhan.
Tapi bagaimana kita akan datang pada-Nya jika Dia tidak ingin melihat kita? Bagaimana kita akan datang pada-Nya, jika Dia telah mematikan hati kita?
Bagaimana kita akan datang pada-Nya, sedang kita memandang baik semua perbuatan kita? Merasa diri kita suci dari dosa? Dan malah balik menuduh orang lain yang berdosa pada kita?
Bagaimana kita bisa "merasa" punya salah, jika Allah sudah berkehendak untuk "mengunci mati" hati kita?
Benarlah kabar dalam surat Al-Kahfi,
Katakanlah, “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”
Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (Q.S. 18: 103-104)
Hidup ini ribet jika 'habluminallah' kita kurang baik.
Hidup ini akan ruwet jika kita masih memegang prinsip 'habluminannas', sebagaimana ruwetnya iblis yang masih memegang prinsip 'hablumina-elemen', hingga membuatnya terusir dari Surga yang penuh kedamaian.
Karena, ketika seseorang memisahkan antara "habluminallah" dan "habluminannas", sejatinya mereka sedang mengajarkan kita untuk mempersekutukan Allah dengan manusia. Sebagaimana iblis yang mempersekutukan Allah dengan unsur elemen penciptaan dirinya. Itu sebabnya dia terusir dari rahmat Allah.
Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain). (Q.S Yusuf: 106)
"Ya Allah, aku sudah menganggap baik seluruh takdir yang engkau berikan padaku, maka aku mohon sembuhkanlah dan perbaikilah hidupku"
Puncak tertinggi dari hati yang bersih adalah menyerahkan segalanya bahkan masa depannya pada Ilahi.
Tanpa tapi.
Tidak mudah melatih husnudzon dan prasangka baik pada Allah itu, mungkin bagi mereka yang Allah hujani dengan kenikmatan akan mudah untuk melakukannya, tapi tidak mudah bagi mereka yang Allah berikan gerimis bahkan hujan ujian. Soal pasangan, keluarga, pekerjaan, keadaan sosial, ekonomi dan semua hal yang barangkali menyesakkan dada, seakan Allah tidak mencintainya. Padahal, tidak selalu yang Allah hujani dengan kenikmatan itu berarti Allah suka padanya. Dan tidak pasti juga yang hari ini Allah berikan ujian bertubi-tubi menandakan Allah membencinya. Semua ada takaran dan tolok ukurnya, dan pada ujungnya, semua yang bisa mendekatkan diri pada Allah adalah kenikmatan, entah ujian atau nikmat yang datang. Aku pun sama denganmu, masih tertatih untuk bisa selalu mengedepankan prasangka baik. Semoga Allah berikan kita hati yang seluas samudera perihal takdir ini, Allah berikan selimut sabar atas dinginnya ujian. Sebab surga tidak pernah murah.
@jndmmsyhd